Apa yang naik ke langit adalah cita-cita di dalam doa.
Apa yang turun ke bumi adalah nikmat bersama hujan.
*
Kebumen, Sabtu 2 Mei 2009 pukul 20:49 WIB [8 Jumadil Awal
1430 H]
“Aku ingin pergi ke langit, Biyung[1].
Aku ingin menjadi astronot!” Aku menegaskan kembali keinginan abadiku sejak sebelum
TK. Keinginan yang sama sekali beda dengan pandangan orang tua, terutama Ibu.
“Biyungku sayang, langit menyimpan
banyak misteri. Langit itu sesuatu yang istimewa. Buktinya kitab-kitab suci
banyak menyebutnya.” Aku menyebutkan lagi argumen-argumen yang telah berulang entah
untuk keberapa kalinya. “Bintang-bintangnya, debu antar bintang, nebula, galaksi,
cahaya, semua itu adalah ciptaan agung yang menarik dan perlu direnungi, yang
banyak terabaikan oleh orang awam.
“Biyung... coba bayangkan. Di ruang
angkasa sana, kita bisa berjalan di ruang kosong. Terbang, tanpa sayap. Dan itu
bukan mimpi.
“Bukan mimpi. Bahkan manusia telah
menciptakan rumah di sana. Di ruang angkasa. Namanya Stasiun Ruang Angkasa Internasional[2].
Dalam bahasa Inggris....”
Aku mengakhiri monologku. Terang
saja, biyungku yang hanya tamatan SD sama sekali asing dengan diksi anaknya. Biyung
hanya duduk terdiam di sebuah bangku panjang di ruang tamu. Memandang kosong ke
arah pintu, tapi pastinya bukan itu yang dilihatnya. Dia memikirkan sesuatu
yang lain, pikiran seorang ibu, seorang perempuan, dan seorang manusia, mahluk
sosial. Sebagai seorang ibu, dia tahu yang terbaik untuk anaknya. Langit yang
kumimpi-mimpikan hanyalah ambisi pribadi tanpa akal, kira-kira begitu pikirnya.
“Tak pernah biyung mendengar tetangga
peduli dengan langit, apalagi berkunjung ke sana, meski cita-cita mereka waktu
kecil adalah pilot atau astronot,” begitu kata biyung suatu hari. Sayangnya,
aku turut membenarkan fakta itu.
Sebagai seorang perempuan, perasaan
halusnya lebih banyak membuat kebijakan konservatif yang aman. Sebagai mahluk
sosial, dia berpendapat bahwa sains yang diagung-agungkan oleh anaknya, aku, seharusnya
tidak mengikis nilai-nilai sosial. Beberapa kali Biyung telah mencoba mengatakannya
padaku, tapi jawaban-jawaban logis yang teoritis selalu menjadi dasar aku tetap
berdiri pada keyakinan ini, yang menurut orang lain seperti ambisi konyol.
“Jadi guru saja. Pagi mengajar Matematika.
Malamnya mengajar anak-anak tetangga baca Al Qur’an. InsyaAllah dunia-akhirat tercukupi.”
Sesederhana itu harapan biyungku.
Biyung tahu, meski dia tak banyak berilmu.
Dia hanya... tahu. Biyung tahu tanpa buku-buku memberitahunya apa yang terbaik
untuk anaknya. Mungkin sesuatu, atau
juga bukan sesuatu yang memberi
tahunya lewat proses
yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Sekarang Biyung hanya diam,
usaha terakhir yang paling ampuh dari seorang perempuan.
Menyadari itu, aku mengambil
langkah hormat. Duduk pula di bangku lain di ruang itu. Sebuah bangku rotan
satu set dengan bangku yang diduduki ibu, menghadap satu meja bundar yang tertutup
taplak berenda rajutan Biyung sendiri.
Aku memandang lurus ke depan, seperti
yang Biyung lakukan. Seandainya garis pandang kami terlihat, keduanya akan bertemu
dan membentuk sudut yang tepat menyiku. Pandanganku berakhir di tembok ruangan
itu, sebuah ruang tamu yang normalnya diisi dua puluh orang jamaah yasinan dengan
posisi duduk melingkar menyandar tembok. Tembok ruangan ini sendiri hanyalah tembok
putih tanpa hiasan, kecuali jam dinding, kalender, dan dua kruistik berpigura
yang masing-masing melukiskan kaligrafi Allah dan Muhammad. Dua benda itu menggantung sama tinggi pada tembok
di hadapanku, sedang jam dan kalender ada di tembok belakang Biyung. Kalender berada
di bawah-kanan jam dinding, dekat, agar selalu mendengarkan ketukan jam dinding
untuk kemudian menghitungnya. Pada hitungan ke-86.400 sejak pergantian terakhir,
kalender akan berganti nama menjadi hari selanjutnya serta menambah dengan
bilangan satu (1) pada kolom tanggal.
Kali ini kubiarkan ketukan jam mengambil
alih babak, adegan diam yang tidak bisa diabaikan begitu saja, karena adegan
ini sebenarnya bukanlah pantomim tanpa makna melainkan drama berdialog yang
disampaikan dengan telepati antara kedua tokoh di atas panggung: aku dan Biyung.
Telah beberapa kali aku bersitegang
dengan Biyung yang selalu berakhir dengan aksi diam. Tapi aku seperti mendengar
ibu mengatakan, pada setiap aksi diam seperti ini, melaui kekesalan bisunya, “Apakah
dengan ditemukannya tempat hidup selain planet Bumi, harga cabai akan menurun,
bahkan gratis, karena meluasnya lahan untuk pertanian di planet sana?”
Aku mereka sebuah jawaban, rerotika
untuk diriku sendiri, “Bagaimana mungkin bangsa ini akan maju jika pikiran mereka
sekolot Ibu?”
Jarum jam yang berwarna merah, si kecil
yang paling aktif bergerak, telah berputar untuk keseribu kalinya. Bio-ritme di dalam tubuh memberi sinyal
agar Ibu segera memenuhi kebutuhan hariannya; tidur. Ibu beranjak sambil berpetuah,
“Rama[3]
belum pulang, masih ikut pengajian rutin malam Ahad di masjid. Kalau mau tidur,
pintu belakang tidak usah dikunci.”
Gorden biru tua telah menyembunyikan
sosok ibu. Si jarum merah telah menghitung hilangnya ibu dari pengawasan dalam
dua pergerakannya. Tapi ibu menyembul kembali, menggoyangkan gorden dengan
sibakan halus, dan menambahi wejangannya, “Kalau tidur jangan lupa berdoa,
istighfar 70 kali, dan baca qulhu[4]
tiga kali agar setan-setan penghuni planet itu keluar dari otakmu dan kembali ke
kandangnya.”
Aku, dengan cuek bebek, malah menimpali,
“Setidaknya aku akan membuktikan ada planet selain Bumi yang berpenghuni, meski
penghuninya adalah setan dan iblis.”
Ibu cepat membalas, “Iman itu percaya.
Kewajiban kita adalah meyakini kebenarannya, bukan membuktikannya. Jika pembuktianmu
benar, semoga imanmu semakin bertambah kuat. Jika pembuktianmu keliru, apa kau
akan membuang imanmu? Tapi kau tahu, ayat-ayat-Nya selalu benar meski tanpa
dibuktikan.”
Gorden kembali tersibak, kali ini dengan
goyangan yang lebih cepat, lalu menyembunyikan ibu lagi. Yang tersisa di
ruangan ini hanyalah aku dan lengang. Maka, sebaiknya aku beranjak keluar.
Bukankah ini malam minggu? Aku senang bukan kepalang, seperti bayi tetangga sebelah
yang menemukan botol susunya.
Di antara dua pohon mangga, aku berdiri
dengan kepala mendongak. Suhu cukup dingin karena ini malam kemarau. Jadi, kedua
tangan kusembunyikan di saku celana. Bergaya seperti seorang mandor yang mengawasi
anak buah, atau seorang koreografer yang bangga melihat penari didikannya memamerkan
keluwesan melenggokkan pinggul. Ah bukan, aku merasa sedang menjadi pusat perhatian
oleh lingkungan. Dua pohon mangga yang menjajariku bergeming, kikuk dengan kehadiran
calon astronot di dekatnya. Pohon teh-tehan kuning yang menjadi pagar halaman rumah,
berada satu meter di depan dua pohon mangga itu, yang diam dan telah tertidur sejak
sebelum magrib, tiba-tiba seperti tergelak kaget, sungkan. Aku mencoba membusungkan
dada, percaya diri karena seorang diri.
Di depanku, arah selatan, gundukan
tanah setinggi tubuhku merebah sepanjang hampir 10 meter dan lebar juga sekitar
10 meter, mirip bukit buatan tapi terlalu rendah dan datar. Itu adalah tanah
liat yang diambil dari sawah dan sedang disimpan untuk digunakan sebagai bahan
baku pembuatan genteng saat musim penghujan tiga, empat, atau lima bulan lagi.
Ini musim kemarau, sawah banyak terbengkelai, tidak ditanami, banyak yang dikeruk
sedalam 30 centimeter untuk kemudian bongkahannya dijual. Pada musim penghujan,
masyarakat akan menggunakan sawahnya secara total untuk pertanian. Para juragan
akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan bahan mentah pembuatan genteng pada
saat itu. Orang-orang menyebut simpanan ini sebagai tandon.
Aku masih mendongak, tidak terlalu
tinggi. Langit yang tanpa halimun, semua titik-titik putih yang seperti taburan
berlian di lantai pualam seakan menyergapku. Semuanya berebut menyapaku, seoalah-olah
kami adalah kawan lama yang didera rindu. Padahal, setiap hari mereka bertamu
di beranda rumah dan setiap hari pula aku tersenyum pada mereka.
Mula-mula kusapa rasi Layang-layang
atau Crux tepat di depanku. Rasi itu mudah dipahami, termasuk oleh orang awam
yang mereka kenal dengan nama rasi Gubuk
Penceng, karena ia melayang agak rendah di selatan, hampir tepat selatan.
Bahkan bagian bawah layang-layang, ekornya, mengarah ke Kutub Selatan. Maka, berpedoman
rasi inilah para nelayan melabuh laut di malam-malam kemarau. Centaurus yang sedang
memburu Lupus dengan tombaknya berada tepat di atas Crux. Semakin ke atas, aku
dapat melihat Rasi Virgo, atau rasi Mayang menurut kosakata kuno. Lama kubercengkrama
dengan mereka, mengedarkan pandangan secara bergantian, memastikan mereka mendapat
bagian waktu yang adil untuk bercerita.
Lepas pukul sembilan, sepi adalah sebuah
keniscayaan di desaku. Tidak sepenuhnya sepi, jalan-jalan kadang masih terjaga
oleh deru truk yang sekedar lewat, atau sepeda motor yang ingin cepat-cepat
tuannya turun dari jok di punggungnya. Kampungku adalah sebuah desa industri
pabrik genteng. Jika siang hari, debu jalan akan berterbangan memburu setiap kendaraan
yang lewat, terutama pada musim kemarau seperti sekarang. Ketika malam,
biasanya jalan di depan rumahku sepi karena truk-truk pengangkut genteng dan
kayu telah dihimbau untuk menggunakan jalan luar desa di sebelah utara, agar
tidak mengganggu istirahat penduduk sini. Namun, ada saja yang lewat.
Hingga pegal leherku, barulah
kuturunkan pandangan. Memutar kepala. Memalingkan keras dengan bantuan tangan.
Ngeri juga mendengar bunyi krek.
Aku berjalan menuju bukit di seberang
jalan, gundukan tadi. Menaikinya, berbalik badan, dan duduk di tepi dataran
puncak gundukan tanah yang telah lama mengering itu. Aku kembali mendongak.
Kali ini arah utara menjadi konsentrasi pengamatanku.
Langit utara tak seramai langit selatan, aku
tahu itu. Apalagi ada bulan setengah lingkaran mengambang di langit
barat. Kehadirannya mengusir bintang-bintang yang berkecerlangan kecil. Hanya beberapa
yang terlihat malu-malu, salah satunya adalah benda langit yang bersinar tanpa
berkedip. Pasti itu bukan bintang, mungkin planet Saturnus. Kali ini aku memang sedang
tidak begitu minat berlama-lama ber-stargazing[5].
Aku sedang ingin merenung.
Separuh dari umur manusia adalah kehidupan malam. Namun sayangnya,
kita terlalu banyak menghabiskannya dengan tidur. Kan kasihan pertunjukkan secantik ini terlewatkan begitu saja.
Sia-sia. Dan, memang ilmu perbintangan masih sangat jarang menarik hati manusia
Indonesia. Jangankan ilmu seelite astronomi, menguasai ilmu dasar seperti matematika
dan bahasa saja masih merupakan barang mahal di kampungku. Tampaknya, sang
Bulan mengerlingkan wajahnya tanda setuju dengan paparanku.
Entahlah. Sejak kecil aku memang suka melihat
bintang-bintang dan kebetulan selama dua tahun terakhir aku berkonsentrasi mempelajari
astronomi daripada pelajaran lain di SMA. Dan aku ingin melanjutkannya di
bangku kuliah beberapa bulan lagi. UAN telah dilaksanakan dan sekarang semua
siswa kelas XII sedang fokus pada UAS dan mencari pelabuhan ilmu berikutnya, kecuali
aku dan beberapa teman lain yang sudah mempunyai kepastian. Astronomi ITB telah
melamarku dengan tawaran beasiswa. Apalagi yang kubutuhkan? Seperti jabat
tangan yang telah bersambut dan salam yang telah berjawab, aku tidak perlu memikirkannya
lagi.
Sebaiknya aku merencanakan langkah panjangku, langkah setelah
lulus dari Astronomi ITB. Kawan, mari kuajak kau memahamiku dulu. Aku seringkali berpikir
dalam diam, bahwa di luar sana, di antara benda-benda langit yang teramati sebagai
titik, sangat mungkin ada kehidupan seperti di bumi. Sebagaimana kalian telah tahu dari dialogku dengan ibu,
aku memang ingin pergi ke langit dan juga menemukan kehidupan lain di alam semesta
ini.
Apa yang mendasari pemikiranku
adalah sebagaimana seorang ahli astrofisika bernama P. Guerin pernah menulis
dalam sebuah buku, “Sistem Planeter sudah terang. Tersebar banyak dalam kosmos,
sistem matahari dan bumi tidak satu-satunya yang ada. Kehidupan, sebagai planet-planet
yang memberinya tempat juga tersebar di seluruh kosmos, di mana saja terdapat
kondisi fisiokimia yang diperlukan terbukanya kehidupan tersebut dan
perkembangannya selanjutnya.”
Bayangkan saja, alam semesta ini terdiri
atas banyak galaksi, galaksi tersusun atas bermilyar bintang, dan bintang mempunyai
sistem keplanetan. Tidaklah semua itu diciptakan dengan kesia-siaan.
Bahwa di dalam galaksi kita Bima
Sakti, seperdua dari 100 milyar bintang, masing-masing mempunyai sistem planet
seperti sistem matahari. Memang sebanyak 50 M bintang memiliki rotasi yang
pelan, dan hal ini mendorong para ilmuwan untuk menduga bahwa ada planet-planet
yang mengorbit masing-masing bintang sebagai satelit. Jauhnya bintang-bintang
itu menyulitkan pengamatan kita pada planet-planet satelit tersebut, akan
tetapi adanya planet-planet satelit tersebut sangat dimungkinkan karena sifat-sifat
trajektori[6].
Pergelombangan ringan dari trajektori bintang menunjukkan adanya satelit yang
menemani bintang tersebut.
Begitu luas semesta ini dan bumi hanya bagian kecil
dari sistem keplanetan Matahari di pelosok Bima Sakti. Dari luasnya semesta,
kupikir, mungkin saja ada salah satu tempat yang mirip dengan Bumi dan ada kehidupan
di sana. Dan, aku ingin menjadi bagian penting dari penemuan itu. Tidak itu
saja, sejak kecil aku memang telah bercita-cita menjadi astronot. Jadi, aku pun
ingin menjadi astronot pertama di Bumi yang menginjakkan kaki di Planet Mars.
Kadang, di gundukkan tanah ini, aku mempraktekkan gaya
seorang astronot yang turun dari modul pendaratan. Tak kurang aku berucap sebaris
kalimat sakti pertanda kedigjayaan manusia melipat peradaban. Aku membayangkan
kalimatku saat melangkahkan kaki di Mars akan dikutip, diabadikan, dan diputar
berulang-ulang
di berbagai media. Dengan bahasa ibu, bahasa Jawa dialek Banyumasan atau yang terkenal
dengan bahasa Ngapak, aku akan mengatakan, “Setapak langkahe kanggo siji wong,
selumpatan buta ijo kanggo wong nang ngalam kabeh.”[7]
Aih, elok nian mimpiku ini. Namanya juga mimpi
haruslah tinggi-tinggi, indah pula, meski aku hanya seorang anak kampung di
pinggiran kabupaten kecil bernama Kebumen. Seperti bintang yang melayang tanpa
tiang di kolong-kolong angkasa, gantungkan mimpi-mimpi kita di langit. Jangan
lupa teruslah menyakini mimpi itu agar ia terus bersinar dengan mantapnya seperti
terangnya cahaya bintang Sirius. Lalu, buatlah tangga kokoh untuk menggapainya.
Atau, bila perlu, kita buat pesawat ulang-alik untuk menjemput mimpi kita itu.
***
[1] padanan sebutan ibu; merupakan
penghormatan tertinggi dalam bahasa Jawa
[2] International Space Station
[3] baca:
romo; padanan sebutan ayah, merupakan
penghormatan tertinggi
[4] QS Al Ikhlas
[5] menatap
dan membaca langit malam
[6] lintasan
[7] seperti
yang diucapkan Niel Amstrong: “Satu langkah kecil bagi seorang manusia; satu
lompatan raksasa bagi umat manusia.”
Bab pembukanya menarik bro, bikin penasaran buat baca bab selanjutnya.
ReplyDeleteHm menguak sisi lain hitam malam. :)
oke, Ulin. makasih komentarnya.
ReplyDeleteKayaknya bakalan konsultasi sama masternya bola langit nih..