Sebuah peribahasa.
Artinya, kecelakaan tidak dapat diketahui sebelumnya.
Bakda 'ashar aku
bertolak ke Bintaro Plaza demi mengingat kata teman bahwa ada obral buku-buku murah toko Gramedia. Cuci gudang mungkin. Benar adanya. Di sebelah barat laut
BP, di tempat yang biasa untuk parkir, juga biasa untuk acara eventual macam
bazaar ini, sudah ramai dikunjungi calon pembeli. Wuih, bener-bener cuci
gudang.
Sejak tiba di sana sampai menjelang maghrib, aku telah muter-muter dan menjinjing 3 buku: The Hunt for Atlantis (Rp5.000), Ken Arok (Rp5.000) dan Purnama dari Timur (Rp15.000). Aku masih belum beranjak ke kasir. Masih mencari-cari. Dan akhirnya menemukan buku Haji Backpacker 2 (Rp15.000). Jadi, untuk 4 buah buku yang ada di tangan, harganya hanya Rp40.000. Sangat ekonomis, sebenarnya. Tapi aku memilah lagi. Empat puluh ribu memang sangat murah untuk 4 buah buku. Tapi aku berpikir lagi untuk benar-benar menjadikannya bacaan. Haji Backpacker 2 harus kubeli. The Hunt for Atlantis? It's just Rp5.000, why not? Ken Arok, ini pun hanya goceng. Kenapa tidak? Akhirnya kukalahkan Purnama dari Timur, novel yang berkisah tentang Sunan Ampel itu. Dilihat dari ketebalan dan penerbitnya, aku mengira pembahasannya tidak terlalu komprehensif.
Masih sekitar 10
menitan menuju maghrib, masih ada agenda yang belum kurealisasikan: menengok
sepatu. Ternyata sedang diskon juga. Berputar sebentar, aku menemukan sepatu
yang cukup bagus untuk harga di bawah seratus ribu. Secara, di sebuah plaza ada
sepatu seharga itu.
Waktu itu,
perasaanku tak menentu. Barangkali, aku adalah orang yang cukup berpikir keras
ketika akan membelanjakan setiap rupiah uang. Harus kupikir matang-matang. Tak
bisa gegabah, tapi aku merasa jantungku berdegap tidak normal. Sholat maghrib dulu.
Tadi sebelum
maghrib, seorang kawan di kos Al Kausar 52 (kos lama) mengirim pesan singkat: Dul, nanti abis maghrib ke kos ya. Ada pempek.
Aku mengiyakannya.
Maka, sehabis
maghriban, aku menyempatkan menengok lagi sepatu itu. Masih ada. Setelah
berdialog dengan si pramuniaga, aku memutuskan untuk membeli sepatu kantor
warna cokelat itu. Berharap saat studi lapangan nanti tidak ada keharusan
untuk memakai sepatu kantor warna hitam. Yang penting sepatu kantor! Pantofel!
Kupikir, harga
Rp89.000 adalah harga yang cukup miring. Bandingannya, ketika dua tahun yang
lalu aku membeli sepatu kets di Pasar Tampur, harganya tak bisa turun dari
Rp80.000 setelah kutawar-tawar. Ditambah uang transport sebesar Rp8.000 (FYI:
alhamdulillah, sepatu itu masih bertahan sampai sekarang setelah mengalami
beberapa ketok magic, pengeleman ulang).
Belum lagi, membeli barang di pasar harus jeli dalam memilih dan keukeuh dalam menawar. Hampir-hampir, aku
tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melakukan keduanya. Maka, aku lebih
suka membeli barang berbandrol harga (di toko-toko). Tentu saja, harus menunggu
momen-momen diskon, atau benar-benar mencari yang ekonomis.
[sebenarnya ini baru
akan masuk inti cerita]
Aku buru-buru menuju
parkiran sepeda. Bungkusan sepatu ini terlalu besar untuk dijinjing. Lagipula
aku tak ingin kelihatan membeli sesuatu dari BP. Maka, kupaksakan kardus sepatu
masuk tas laptop. Benar-benar kupaksakan.
Alhasil, tiga buku
dalam kantong kresek itulah yang kujinjing. Mengingat janji berkunjung ke Al
Kausar 52 (atau ingat pempek?), aku mengayuh sepeda dengan kencang. Tas
kresek berayun-ayun. Dan.... Kejadiannya sangat cepat.
Tiba-tiba aku sudah
terkapar di atas aspal dengan muka menempel jalan, tangan kanan secara reflek
menyangga tubuh tapi gagal. Mungkin, kejadiannya semacam kodok yang gagal
meloncat. Bayangkan, aku terbang melewati setang sepeda. Terjungkir. Mendarat
darurat di jalanan beraspal yang sedang ramai lalu lintas. Pipi kananku panas,
lecet. Punggung tangan kanan dan lutut juga sama, ada rasa perih.
Aku terdiam
menyadari nasibku malam ini. Aku bangkit, meminggir untuk duduk dan berpikir.
Sepeda masih terkapar. Ada yang salah dengan diriku di hari ini. Alhamdulillah,
aku masih diberi hidup.
Awalnya aku mengira
keadaanku demikian parah. Terutama dengan mukaku. Berdarah, segala macam.
Seorang juru parkir mendekat. Aku melihat kondisi sepeda. Fork bengkok,
ternyata tiga buku dalam plastik itu masuk ke celah antara roda dan batang fork
kiri. Beberapa ruji patah. Fork tak bisa kukembalikan ke bentuk semula, roda
depan tak bisa berputar.
Kejadian ini seperti
terpisah dari kejadian lain. Kecelakaan tunggal. Tidak ada hubungan dengan hal
lain, secara kasat. Bahwa terjatuhnya aku dari sepeda tidak ada pengaruh dari
lingkungan di luar aku, sepeda, dan tas plastik berisi 3 buah buku. Maka, Allah
memang berkuasa atas segalanya.
Wajar juga, tidak
ada kerumunan. Hanya seorang juru parkir itu yang mendekatiku. Aku meminta
bantuannya untuk melepaskan buku yang terjepit itu, lalu berusaha mengembalikan
fork ke bentuk semula. Susah, sepertinya tidak bisa. Terima kasih, Pak. Aku harus menuntun sepeda ringsek ini sampai
kos, kupikir. Jaraknya, mungkin masih 2 kilometer (menuju Hasan Kos). Akhirnya,
sepeda kutaruh dulu di parkiran sepeda di kampus. Aku berjalan menuju kos Al
Kausar 51, bukan 52, untuk meminta beberapa pertolongan. Betadi, tisu, minum.
'Isya, ke Mushola
Mujahiddin. Muka dan punggung tangan perih ketika kubasuh. Pulang, langsung ke
Al Kausar 52, tepat di sebelah kiri Al Kausar 51. (haha, lucu). Menyantap 3
biji pempek. Kembali ke 51, disuguhi segelas susu dan ngobrol (sedikit diskusi tentang outline studi lapangan juga).
Sebenarnya, malam
ini aku ada cara rutin Ahad malam. Fisikku cukup mampu untuk berjalan pulang,
berganti pakaian, lalu berangkat lagi. Tapi entahlah, aku masih gugup. Mungkin
ada trauma. Psikisku masih bergelombang, sepertinya. Akhirnya aku meninggalkan tanggung
jawab itu, padahal aku membawa tape recorder
untuk merekam kegiatan malam ini, ada pula janji dengan seorang teman.
Lalu hikmah apa yang
bisa diambil dari insiden ini.
Sebaiknya, waktu
maghrib itu tidak usah pergi ke mana-mana. Waktu astronomical
twilight (yaitu sepanjang waktu maghrib di Indonesia) ini memang rawan. Sandikala, kata orang-orang tua. Pergantian
siang ke malam, setan suka dengan momen ini, demikian kata-kata yang menuntun
anak-anak kecil untuk masuk ke rumah atau pergi ke mushola, dulu.
Ada lagi. Bahwa,
apapun bisa terjadi pada diri ini. Maka, usahakan untuk mempersiapkan diri
berbuat baik, yang terbaik.
Kata Shalahuddin al
Ayyubi:
Bukan
kita yang memilih takdir
Takdirlah
yang memilih kita
Bagaimanapun,
takdir bagaikan angin bagi seorang pemanah
Kita
selalu harus mencoba membidik dan melesatkannya di saat yang paling tepat.
Ya, kita harus
bersiap-siap sebaik mungkin, lalu hasilnya memang terserah kepada Yang
Menentukan.
Innalilahiwainnailaihiroji'un... Semoga Mabruri cepat sembuh ya... Lain kali lebih berhati-hati...
ReplyDeleteItu ujian Mabruri. Ternyata Mabruri masih sabar..Di saat seperti itu, Mabruri masih dapat mengucap syukur padaNya.. :-)
Oya, buku Ken Arok itu karangan siapa?
hohoho..ati2 masbro,,.
ReplyDeletesukses buat PKL-nya :p
This comment has been removed by the author.
ReplyDelete@Pramadya: iya makasih ya, ini udah sembuh.
ReplyDeletepenulis buku Ken Arok: Gamal Komandoko.
@Mas Anjar: yoo..suwun..
@pakdhe: deneng dihapus komene, Pakdhe?