Aku bercerita kepada
Bapak bahwa teman olimpiade astronomiku, baru saja ke luar negeri untuk urusan perkuliahan. Hebat,
kata Bapakku. Juga, beberapa teman lain yang dulu pernah menjadi kawan-kawan
astronomi atau kawan olimpiade lain, kehebatannya melangit, sangat jauh
bertolak belakang dengan keadaanku saat ini.
Aku merasa kerdil di hadapan mereka. Di lain pihak, Bapak udah cukup
bangga dengan prestasiku. Harapan Bapak adalah menyekolahkan anak-anaknya lebih
dari apa yang pernah Bapak capai. Bagi bapak, itu sudah sangat bagus. Prestasi!
Bagi orang kampung,
kuliah adalah barang mewah. Apalagi di Perguruan Tinggi Kedinasan (khususnya
kampusku: STAN). Stereotip ini memang tidak akurat dan sangat tidak objektif
untuk menilai suatu institusi pendidikan, tapi mau bilang gimana pun, tidak
sembarangan orang mampu masuk kampusku. Maka, ketika tetangga tahu aku
berkuliah di mana, mereka sudah menganggap luar biasa.
Aku, atau kami (aku
dan mbakyu) sudah dianggap lebih baik daripada bapak yang hanya lulusan SMEA,
apalagi Biyung yang bersekolah tidak setinggi Bapak. Aku dan mbakyu sudah bisa
kuliah, itu sudah lebih dari harapan yang mungkin Bapak pernah bayangkan. Itu
dari sudut pandang Bapak yang mungkin tak mengerti betapa mudahnya berkuliah di
zaman sekarang ini, terutama setelah adanya program Bidik Misi dari pemerintah
tahun 2010 (tepat satu tahun setelah aku lulus SMA, sayangnya).
Bapak juga berpesan
untuk tidak menggunakan pencapaian teman-teman 'master' olimpiade itu sebagai
standar penilaian diri sendiri. Iya, aku memang selama ini terpengaruh oleh
mereka dalam menilai suatu pencapaian. Atau barangkali memang orang melankolis
cenderung perfeksionis dan menetapkan standar tinggi?
Aku yang memang
sudah terlanjur banyak mengenal orang hebat (meski aku tidak dikenal mereka),
terlampau memaksa diri untuk menggunakan capaian mereka sebagai pedoman
kinerjaku sendiri. Lalu, aku hanya mengalami kelelahan, kekecewaan, dan
perasaan rendah diri.
Namun, bagaimanapun
juga, menggunakan standar 'orang tua' sebagai penilaian tidak sepenuhnya benar.
Hanya saja, aku mengiyakan pesan Bapak, ya itu tadi, bahwa jangan menggunakan
standar orang-orang seperti mereka untuk menilai pencapaian diri.
Hingga kerap, aku
menetapkan standar ganda. Pada satu sisi, aku sudah merasa 'baik' jika
menggunakan standar orang tua, tapi I'm nothing
ketika menggunakan standar teman-teman. Lalu aku menjadi orang yang stagnan dan
usang. Kadang merasa ujub, kadang merasa terlalu pandir. Dan, kedua perasaan
itu tidak ada yang benar sama sekali.
Maka, standar yang
paling baik dan relevan adalah standar diri sendiri di masa lalu. Karena:
beruntunglah mereka yang hari ini lebih baik dari hari kemarin.
Bagaimanapun bapak
menilaiku, atau siapapun yang mengenalku, aku tak bisa membohongi diri sendiri.
Akulah yang paling tahu diriku. Dan, jujur kuakui, bahkan dengan standar diri
sendiri di masa lalu pun aku tak lebih baik. Ini bukan soal angka. Hanya saja,
fakta berbicara melaui satu indikator kuantitas yang cukup mewakili kualitas
diri seseorang. Indeks Prestasi jelas bukan penentu satu-satunya ukuran
prestasi. Namun, inilah salah satu langkah mudah menilai seorang mahasiswa.
Kenyataan telah mencatat Indeks Prestasi yang kuraih sampai saat ini, bahwa aku
bukanlah mahasiswa yang (sebutlah) pintar. Indeks Prestasi yang selalu menurun
adalah fakta buruk tentang diriku. Dari angka 3,69 pada semester 1 dan 2,85
pada semester 2,85 pada semester 6 (tidak termasuk Studi Lapangan). Dan, fakta
yang cukup menggiriskan adalah angka IP yang terus menurun dari satu semester
ke semester berikutnya. Tak pernah naik sedesimal pun; sama pun tak pernah.
Trend negatif; gradien pun negatif. Jadi, dalam hal ini, aku tidak lebih baik
dari masa lalu; celaka!
Dan, pada beberapa
hal aku pun merasa tak lebih baik dari masa lalu. Aku sedang tidak dalam
rangkah merendah. Karena, aku lebih suka berkata jujur daripada berendah hati.
Aku menyebutnya, dalam beberapa kesempatan, sebagai kebobrokan multidimensi.
Mungkin sama ketika saya masih SMA. :-)
ReplyDelete"Sekarang bagiku pencapaian itu seberapa bermanfaat kita pada sesama... "
Itu semangat multidimensi bagi saya. Ibaratnya jika saya dapat IP yang tinggi di bangku kuliah, namun saya tidak dapat memberi ibu saya apapun dengan nilai itu, itu namamya bukan pencapaian. Tapi dengan nilai yang tinggi mungkin saya dapat mempermudah langkah untuk pencapaian ;-)
"Sekarang bagiku pencapaian itu seberapa bermanfaat kita pada sesama... "
ReplyDeleteSuper sekali Vina...