Tenggara adalah south-east. Maka, tenggara adalah kesopanan,
kesahajaan, kebodohan, dan kemiskinan. Dan, Indonesia adalah sebuah negeri
paling selatan dan paling timur dari Asia Tenggara. Jadi?
Jadi? Entahlah.
Siang ini listrik mati. Apa yang bisa dilakukan dengan laptop jadul ini jika
tanpa listrik? Lagipula siang ini sendirian di rumah kecil ini. Tak ada teman
bermain sepantaran; hanyalah para keponakan yang sedang libur sekolah di
kanan-kiri rumah.
Maka, bersepedalah
aku menuju pinggiran desa Murtirejo di sebelah timur laut (north-east). Di pedukuhan inilah berdiri
berpuluh-puluh pabrik genting. Maka, desaku memang desa industri di samping
juga desa pertanian.
Desa Murtirejo
tempat aku pertama kali menangis ini adalah salah satu desa terluar dari
kecamatan Kebumen di sisi selatan. Kecamatan ini sendiri adalah pusat Kabupaten
Kebumen (ibu kota kabupaten). Dengan demikian, desa Murtirejo secara tidak
langsung berada pada kondisi kepemerintahanan yang lebih dekat dengan
pemerintah kabupaten. Selain itu, posisinya berada di dekat jalan lingkar
selatan kabupaten yang merupakan jalur utama penghubung antarkota antarpropinsi
(AKAP). Pintu gerbang masuk desa pun menghadap langsung jalan cabang dari jalur
lingkar selatan ini. Jalan tersebut malah menghubungkan jalan lingkar selatan
dengan jalan alternatif Cilacap-Jogja. Dan kini, RSUD (lokasi baru) Kebumen
sedang dibangun di jalan lingkar selatan itu, alias tepat berada di utara desa
Murtirejo. Bahkan, tembok belakang RSUD ini menyentuh jalan desa Murtirejo di
bagian utara. Jadi, secara geografis, desaku memang berada pada silang
keberuntungan.
Dengan kondisi ini,
aku merasa bahwa desaku sedikit "lebih kota" ketimbang desa tetangga
di sebelah timur dan selatan. Ini telah menjadi semacam paradigma pribadi
tentang daerah-daerah pelosok. Ya, bagiku, daerah yang lebih tenggara dari
Murtirejo adalah daerah terpencil, gelap, dan agak primitif. Agar paradigmaku
tidak menghasilkan kesimpualan yang mengada-ada, let
me check this out.
Dari ujung timur
laut Murtirejo aku menuju Desa Depokrejo melalui bulak
(jalan di tengah areal persawahan). Aku segera mendapat efek pelepasan. Serasa
sedang pergi dari semua keterikatan. Bahkan, hampir-hampir aku pergi dari
keakuan diri sendiri. Karena aku seperti tidak membawa beban pergi ke tempat
terbuka ini. Hawa kesegaran segera melingkupi. Sawah adalah tempat rekreasi
yang asyik, sebenarnya. Maka, masyarakat petani memang golongan manusia yang
bersahaja adanya.
Mencoba melalui
jalan-jalan sempit, jalan setapak, aku menawarkan diri untuk berkenalan kepada
setiap lingkup kecil kehidupan. Ruang yang asing untuk waktu yang berulang. Ya,
waktu memang tak mungkin berulang. Tapi rutinitas terlalu memakan banyak porsi kehidupan.
Maka, berjalan-jalan menyusuri perkampungan bisa membuka cakrawala pemikiran.
Bahwa hidup ini begitu luas, dan tak terduga.
Dari Depokrejo
menuju Sidomoro. Sebenarnya, aku tak tahu batas-batas wilayah antardesa. Pun
aku tak tahu nama-nama pedukuhan yang kulewati. Tapi aku pernah melalui jalanan
ini, 4 tahun yang lalu, di bulan yang sama: Sya'ban. Kenapa aku bisa seingat
itu? Iya, soalnya waktu itu aku bersama seorang teman ditugasi untuk membagikan
undangan khataman dari Madrasah Dinniyah Al Kahfi, madrasah tempatku mengaji
waktu itu.
Aku
mencoba jalan yang lebih asing, lingkungan yang sepi, terpinggirkan, dan memang
agak horor bila sedikit saja aku lebih sore melewatinya. Juga lebih jauh dari
"peradaban". Barangkali, di sini, mencapai pendidikan adalah kemuliaan dan "sangat barat".
Selebihnya adalah kehidupan berdasarkan insting: makan dan kawin. Barangkali,
untuk mencukupi makan pun masih berburu dan meramu. Ups. Rasanya sudah
keterlaluan pemaparanku barusan. Maksudku, cara berpikir orang di pedalaman
desa masih sangat sederhana. Tidak muluk-muluk. Hidup itu tidak jauh-jauh dari
makan tiga kali sehari, bersawah di siang hari, merumput sore hari, ngaji bakda maghrib, dan segera tidur.
Namun, gaya hidup
yang ditampilkan kawula muda terhitung mengikuti gerak zaman. Terang saja,
televisi telah menjangkau sudut sempit Kebumen. Maka, apa yang ada di ibu kota
negara telah sampai di pedalaman desa dalam hal fashion.
Hal ini membuatku pesimis dengan wanita desa yang lugu dan pemalu. Pendapat
bahwa perempuan desa itu lugu, ayu, dan tipikal keibuan tidak lagi relevan.
Aku tidak mengatakan
bahwa orang-orang desa berkekurangan. Justru, mereka sejahtera adanya. Sebagian
kecil memang terseok-seok, tapi sebagian kecil yang sama juga berlimpahan
secara finansial. Hanya saja, sistem transfer kepemilikan material tidak berjalan
mulus, sepertinya. Kepedulian akan kemiskinan masih belum menyentuh sanubari
warga. Ada segan, ada malu. Keduanya tidak akan mempertemukan dua kebutuhan
yang seharusnya saling melengkapi.
Dalam hal keagamaan,
secara umum penduduk desa memang masih gitu-gitu
aja. What should I say? Maksudku,
masjid dan mushola berdiri cukup teratur. Tidak terlalu jauh dari jangkauan,
tidak pula terlalu banyak. Beberapa malah ada pondok pesantren. Tapi, ya gimana
ya nulisnya. Ya gitu. Ah, gini, contoh mudahnya adalah para perempuan desa yang
tetap berpakaian sebagaimana adanya. Tidak benar-benar menutup aurat
sebagaimana mestinya. Sesungguhnya, pembaharuan perlu ada. Tapi, aku sendiri
tak tahu caranya. Bahkan, untuk lingkup kecil pun aku tak bisa memberikan
pengaruh. Aku berharap, dalam jangka panjang, semakin ada perbaikan.
Haruskah aku
mengikutsertakan NU, Muhammadiyah, Salafy, dll dalam pembahasan ini?
Baiklah, sedikit
saja. NU, Muhammadiyah, Salafy (setidaknya ini saja yang perlu disebut)
cenderung memliki pengikut sesuai pola pikir golongan itu. Hampir-hampir,
masyarakat secara luas di pedesaan adalah orang NU. Maka, masyarakat menjadi
resisten terhadap golongan selain itu. Saat ini, Salafy diikuti oleh
orang-orang kota dan modern. Kalau aku bilang sih, orang-orang Muhammadiyah itu
peralihan.
Aku tidak mengatakan
soal benar atau salah, tetapi lebih kepada pendekatan seperti apa yang
dilakukan masing-masing golongan. Menurutku sih, masing-masing golongan perlu
memodifikasi pendekatannya untuk mempersuasi masyarakat. Awal kehadiran NU (ini
menurutku lho ya) cenderung sebagai batu loncatan untuk mempersiapkan
masyarakat Kejawen berhijrah kepada Islam. Makanya, NU cenderung tidak
menghapus budaya lokal meski nuansa Kejawennya masih kental. Seiring dengan
kedewasaan masyarakat, komunikasi dan informasi yang semakin lancar, seharusnya
NU turut memperbaiki sepak terjangnya.
Muhammadiyah datang
menawarkan pembaharuan. Dengan tergopoh-gopoh, ini-itu serba ingin diubah.
Masyarakat diajak untuk berlari sementara mereka berjalan masih terseok-seok.
Malah, Muhammadiyah seperti beroposisi terhadap NU. Meski Hasyim As'ari dan
Ahmad Dahlan adalah dua tokoh yang saling memahami, tidak begitu dengan para
pengikutnya.
Lalu Salafy (dan
sejenisnya) datang dengan ambisi ingin memurnikan. No excuse. To the point.
Pendekatan ini sangat bersilangan dengan kebiasaan masyarakat. Apalagi dengan
keakuan yang cenderung merasa benar.
Lalu, di antara
golongan itu, di manakah aku? Sejujurnya, aku tidak suka dengan
pengotak-kotakan itu. Substance over Form.
Ya, sekarang lihat saja substansinya. Jika memang masing-masing golongan
mempunyai satu tujuan, satu misi dakwah Islamiyah, cobalah untuk duduk pada
satu majelis untuk menyatukan sumber daya dan sedikit 'berkompromi'.
Kok ngelantur?
Menelusuri pelosok
demi pelosok, melewati daerah yang sama sekali asing bagi setiap panca
inderaku. Tiba-tiba sampai di Desa Sangubanyu (tertera pada sebuah tulisan di
pinggir jalan). Di jalanan yang cukup halus dan agak ramai, aku optimis bisa
menemukan jalan pulang. Mengalir di samping jalan ini adalah sebuah sungai yang
berair tenang, tipikal sungi hilir yang hanya beberapa kilometer dari pantai.
Bisa-bisanya, di
suatu titik yang tak terduga setelah aku menyeberang jembatan di dekat pasar
Bocor, aku bertemu dengan seorang teman SMA. Hanya karena aku menggunakan
celana training SMA, dia mengenaliku.
Tentu saja, aku cukup kenal akrab dengannya. Maka, kehidupan ini memang ada
yang mengatur; ada yang mempertemukan.
Akhirnya,
demikianlah "tenggara" dalam ekspedisi kurang kerjaan ini.
PS: Ini adalah
tulisan pribadi. Jika terdapat pernyataan subjektif, itu karena pendapat
pribadi. Tulisan ini tidak bertujuan sebagai konfrontasi.
No comments:
Post a Comment