Maka, aku segera
berangkat menuju Kampung Rambutan. Malam sebelumnya, aku telah bertanya ke
seorang teman yang sangat paham dengan transportasi umum di seputar Jakarta.
Dia, mas Anwar Ibnu Rochman, adalah mahasiswa 'gila'. Dia suka sekali
berjalan-jalan menggunakan moda transportasi umum bahkan ketika sedang ujian!
Menurutnya, aku
lebih baik menggunakan angkot nomor C09 sampai di tol Veteran (bayar Rp3.000,-)
dan melanjutkan dengan bus Agra Mas semua jurusan kecuali Bekasi (bayar
RP4.500,-). Menurutnya, ini kombinasi paling cepat dan paling murah. Aku setuju
dengannya.
Tepat menjelang
dzuhur, aku telah sampai di lokasi. Aku harus mengucapkan terima kasih kepada
Bu Eni yang telah banyak berkorban, repot, dan begitu perhatian kepada orang
yang baru dikenalnya (yaitu aku).
Tiket mudik gratis
ke Kebumen sudah ada di tangan, aku segera pergi sholat -beberapa menit yang
lalu baru terdengar adzan. Setelah itu, rasanya masih terlalu dini untuk pulang
ke Bintaro. Aku perlu mengekplorasi sedikit sudut Kampung Rambutan. Dari terminal,
aku berjalan mencari TMII (Taman Mini Indonesia Indah). Ngiras-ngirus meninjau tempat pemberangkatan nantinya.
Sebenarnya aku tak
tahu jalur tercepat menuju target. Aku hanya berusaha berjalan menuju arah
timur. Hasilnya, aku bingung sendiri. Aku memasuki perkampungan, tak ada
tanda-tanda positif menuju TMII. Di samping kanan ada jalan tol, entah itu tol
Jagorawi atau tol Lingkar Luar.
Aku masih berjalan.
Berjalan di siang hari memang menguras tenaga, apalagi di bulan puasa. Tapi ini
bukan masalah. Cobaanku pada bulan puasa kali ini bukan masalah fisik tadi. Aku
biasa berjalan ke mana arah, tak jelas juntrungnya, dan tanpa alasan yang masuk
akal. Hanya saja, akhir-akhir ini gusiku sering berdarah tanpa jelas waktunya.
Ketika ada jembatan
penyeberangan di atas jalan tol tadi, aku langsung melewatinya dan meninggalkan
perkampungan antah-berantah tadi. Dan, what a
lucky boy I am. Di seberang jalan, ada halte bertuliskan: Halte Pintu 1
TMII (seingatku gitu).
Tapi dari kejauhan
aku melihat masjid megah, maka aku mengurungkan niat untuk menutu pintu TMII.
Setelah dekat, terlihat papan nama: Masjid At Tin, Yayasan Ibu Tien Seoharto.
Aku masuk.
Sekarangmemang sudah
jamannya masjid mewah-mewah. Ruang sholat ada di lantai 2, sedangkan lantai
satu dijadikan pusat kegiatan. Aku naik ke lantai 2, sholat sunnah, dan sedikit
tilawah. Ngaso dulu.
Desain interior
masjid cukup mendukung kekhusukkan beribadah. Cahaya dibuat temaram.
Langit-langit tinggi. Hijab jamaah ikhwan dan akhwat hanyalah lemari sepanjang
lantai 2 yang tidak lebih tinggi dari 1,5 meter. Dari shaf jamaah ikhwan, aku
dapat melihat beberapa jamaah akhwat. Karpetnya tidak seempuk di masjid Kubah
Emas #ups. Dan, beberapa orang terlihat tidur/tiduran meski ada larangan tidur
di lantai sholat.
Penutup
Kehadiranku di suatu
tempat hampir-hampir tidak mempengaruhi apapun. Tidak merusak; tidak
memperbaiki. Seperti gas kentut di angin badai, seperti cahaya lilin di siang
hari, seperti gerimis ringan di malam pekat, seperti Bumi di hadapan Galaksi
Bimasakti: nyaris tak berpengaruh.
Secara ilmu ekonomi,
aku mengakui keuntungan dari tiket mudik gratis ini sebanyak jumlah dana yang
kukeluarkan jika aku mudik dengan bis Sinar Jaya tarif lebaran atau kereta api
Kutojaya. Namun, secara akuntansi, aku tak mengakui keuntungan; tidak pula mencatat
pengeluaran.
No comments:
Post a Comment