Supaya pembaca mudah
memahami epilog ini, saya katakan bahwa buku itu adalah tentang reaksi terhadap
ide pembentukan negara agama. Menurut Gus Mus, buku tersebut mengingatkan
bangsa Indonesia tentang adanya bahaya tersembunyi dalam gagasan dan usaha-usaha
untuk mengubah Indonesia dari negara bangsa menjadi negara agama, Negara Islam.
"Sedangkan bagi
Muslim, perubahan ini akan berarti penyempitan, pembatasan dan hilangnya
kesempatan untuk menafsirkan pesan-pesan agama sesuai dengan konteks sosial dan
budaya bangsa Indonesia, dan setiap pembacaan yang berbeda dari tafsir resmi
negara akan menjadi subversif dan harus dilarang."
Dapat saya katakan
dengan ekstrem begini: Di Indonesia saja paham-paham agama sudah mulai banyak
dan terus berkembang. Paham mana yang akan dipakai resmi oleh negara? Tentu
yang paling benar, sementara masing-masing merasa paling benar. Bisa jadi
konflik sesama saudara semakin nyata dan tak terhindarkan jika Indonesia
menjadi negara Islam.
"Bagi Islam
sendiri, formalisasi akan mengubahnya dari agama menjadi ideologi yang
batas-batasnya akan ditentukan berdasarkan kepentingan politik. Islam yang
semula bersifat terbuka dan luas, hidup layaknya organisme yang komunikatif dan
interaktif dengan situasi dan kondisi para penganutnya, dan akan dibungkus
dalam kemasan ideologis dan berubah menjadi monumen yang diagung-agungkan tanpa
peduli pada tujuan sejati dan luhur agama itu sendiri. Akhirnya, agama menjadi ghayah, tujuan akhir, bukan lagi jalan
sebagaimana semula ia diwahyukan. Keridlaan Allah yang merupakan ghayah pun semakin jauh."
Saya memahami
paragraf tersebut sebagai kekhawatiran beliau akan terbatasnya pemahaman agama
bangsa Indonesia terhadap Islam sebagaimana yang hanya diatur oleh negara.
Sementara Islam itu luas dan tidak terbatas pada kenegaraan semata.
"Andai
masing-masing terus belajar, saling mendengarkan dengan yang lain, tentu
pemahaman mereka akan lebih baik dan lengkap. Karena sebenarnya, kebenaran kita
berkemungkinan salah, dan kesalahan orang lain berkemungkinan benar. Siapapun
yang telah tertutup mata hatinya -antara lain karena merasa diri paling pintar
dan paling benar- tidak akan mampu melihat pemahaman lain yang berbeda, yang
tersisa adalah arogansi (takabbur) dan
penolakan terhadap yang lain. Ketika arogansi dimulai, ketika mendengarkan
orang lain diakhiri, ketika belajar dihentikan, maka kebodohan dimulai, suatu
keadaan yang sangat berbahaya bagi yang bersangkutan dan seluruh umat
manusia."
Oleh paragraf ini
saya tersindir. Sebenarnya saya sedang berusaha untuk tidak fanatik kepada
kelompok manapun. Namun, kenyataannya saya selalu memilah-milah setiap
informasi yang datang. Sumber informasi menjadi begitu penting dibanding
informasi itu sendiri. Mungkin awalnya sikap ini didasarkan pada kewaspadaan.
Akan tetapi akhirnya menjadi suatu ketakutan tersendiri untuk mengeksplorasi
pengetahuan dari sumber yang bersilangan.
Lalu bagaimana saya
bisa belajar dengan baik jika ketakutan menerima sesuatu yang tidak tepat lebih
besar pengaruhnya dibandingkan dengan rasa ingin tahu?
"Kebodohan
adalah bahaya tersembunyi yang ada dalam setiap orang, mengatasinya adalah
dengan terus belajar dan terus mendengarkan orang lain."
Jika memang
seseorang masih belajar dan mendengarkan pengetahuan dari orang-orang di
kelompoknya, sangat tidak pas jika orang tersebut mengadili orang pada kelompok
lain dengan pemahaman yang dimilikinya. Seseorang yang buta bisa saja
mengatakan gajah adalah binatang yang besar dan kokoh seperti tiang karena dia
merangkul kakinya. Seseorang buta yang lain boleh saja mengatakan gajah adalah
binatang yang tipis tetapi lebar lantaran dia meraba kupingnya. Maka, tidak
mungkin masing-masing orang itu menghakimi lainnya dengan pengetahuan yang
masih sempit.
Merasa paling benar
dan menyeluruh pengetahuannya? Tunggu dulu.
"Sekali lagi,
ketidaktahuan bisa diatasi dengan melihat, mendengar, dan memperhatikan. Dengan
terus belajar. Yang sungguh sulit dan menjadi masalah adalah jika orang tidak
lagi memerlukan belajar dan mencari kebenaran karena merasa sudah sempurna pengetahuannya
dan menganggap diri paling benar. Siapapun mungkin akan sepakat bahwa kebodohan
adalah sesuatu yang sangat berbahaya, namun tidak setiap orang sadar akan
bahaya laten kebodohan dalam dirinya sendiri."
Saya menambahkan.
Fanatisme, cinta buta, dan taqlid buta
lebih berbahaya daripada aksi teror maupun kriminalisme. Maka, teruslah
belajar. Belajar tanpa akhir.
"WaLlahu
A'lam."
NB: Apa yang ada di
dalam tanda petik adalah cuplikan dari tulisan beliau.
Salam,
@elmabruri
No comments:
Post a Comment