Teman, saya pernah
menulis artikel "Campus Undercover" di majalah kampus. Secara teori,
tulisan kritis terhadap kampus itu hanya dikonsumsi oleh pihak internal civitas
akademika STAN. Di sini, sekarang, saya ingin memberikan beberapa pandangan terhadap
almamater saya yang mungkin bisa dijadikan pertimbangan bagi adik-adik yang
sangat berminat berkuliah di kampus kedinasan ini.
Sebab, saya masih
sering mendengar, ketika orang tahu saya pernah kuliah di mana, orang-orang
terdekat mereka akan direkomendasikan (sedikit disuruh) untuk berkuliah di STAN
juga. Pada satu sisi, saya khawatir dengan "pengarahan masa depan
seseorang oleh orang lain". Pada sisi lain, saya menghargai pengetahuan
dan harapan orang dengan berkuliah di STAN atau PTK lain.
Nah, berhubung tidak
mungkin saya memaksakan pemahaman untuk "tidak perlu" kuliah di STAN,
lebih baik saya menceritakan pengalaman saya (tentu sangat subjektif) berkuliah
di STAN.
Pertama, saya ingin
mengatakan: Janganlah kamu memilih STAN karena ini adalah kampus yang bebas
biaya pendidikan dan ikatan dinas. Jangan begitu. Kalau demikian, kamu
berkuliah memang tujuannya hanya mencari pekerjaan dan tujuan mencari ilmu
menjadi tersisihkan. Percayalah, mereka yang mencari ilmu akan dimudahkan
rizkinya. Jadi, tidak usah mencari sekolah yang gratis dengan memaksakan diri
masuk ke STAN atau perguruan tinggi kedinasan (PTK) lainnya. Ikutilah kata
hatimu di mana ia nyaman menuntut ilmu, termasuk konsentrasi keilmuan yang akan
diambil. Di STAN hanya ada jurusan yang sangat umum, dalam artian tidak
memerlukan insting khusus intelegensia, yaitu: akuntansi, perpajakan,
penganggaran, piutang dan lelang, dan kepabeanan dan cukai. Semua itu, saya
bilang, bisa dikuasai siapa saja tanpa perlu bakat khusus (cukup otak yang
mampu saja, ditambah sedikit rajin).
Nah, apa yang saya
maksud "konsentrasi keilmuan dengan insting intelegensia khusus"
adalah ilmu-ilmu semacam: kimia, teknik penerbangan, elektro, astronomi,
ekonomi dan bisnis, matematika, olah raga, bahasa, sastra, dll. Untuk
mengetahuinya cukup mudah: seseorang dapat begitu paham dengan kimia tapi tidak
dengan matematika dan sebaliknya, juga seseorang yang jago bidang sastra
biasanya tidak mudah mengerti soal angka dan data. Masing-masing orang memiliki
kecenderungan sendiri. Maka, pada kesempatan kedua ini, saya ingin mengatakan:
temukanlah minatmu pada keilmuan yang khusus (spesialisai diri). Ada yang
mengatakannya sebagai 'passion'.
Tidak usah khawatir
soal biaya pendidikan. Ini adalah stereotip kacau yang diturunkan orang tua
kepada anaknya. Orang tua yang tidak mengikuti gerak informasi masih
beranggapan bahwa kuliah pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Jadi wajar
bila kebanyakan teman kuliah di STAN disebabkan oleh (berdasarkan beberapa
pengakuan): mematuhi saran orang tua.
Oke, saya ralat.
Memang biaya pendidikan tidak murah, tapi bisa diusahakan. Jaman sekarang,
beasiswa begitu melimpah. Sejak Bidik Misi 2010 (tepat 1 tahun setelah saya
lulus SMA), pemerintah benar-benar telah memperhatikan pendidikan tinggi.
Perusahaan swasta pun mengalokasikan tanggung jawab sosialnya pada bantuan
untuk pendidikan. Jadi, kita hanya perlu tahu di mana informasi beasiswa itu
dan yakinkan pada orang tua bahwa kamu bisa meringankan beban mereka dengannya.
Saya tidak
mengatakan pendidikan di STAN itu buruk. Tidak. Bukan begitu. Tapi, konsentrasi
institusi pendidikan ini memang secara nyata adalah keilmuan teknis. Jadi,
mahasiswa STAN memang disiapkan untuk melaksanakan pekerjaan dan bukannya
menentukan kebijakan.
By the way, Sistem DO (drop out) telah memberikan efek samping tersendiri. Mahasiswa
STAN sangat "output oriented". Saya tidak tahu apakah di perguruan
tinggi lain demikian adanya (mendapat kiriman kabar dari seorang teman di
Nanyang Technology University Singapura, mahasiswa Indonesia yang berkuliah di
sana ternyata juga 'mark oriented'). Opini saya ini tidak didukung oleh data
survey. Tapi, bolehlah kamu datang sendiri ke kampus ini selama musim ujian.
Kamu akan tahu itu menyedihkan. Tidak sedikit mahasiswa yang belajar hanya
berdasarkan kisi-kisi. Semua itu, tidak lain hanya untuk memenuhi passing grade IP atau IPK senilai 2,4 atau
2,75. Hanya angka.
Kemudian soal
pekerjaan. Saya tahu ini tidak mengenakan. Tapi saya harus jujur mengatakan:
saat ini saya sedang menganggur dan telah masuk ke bulan keempat (dalam artian
tidak dipekerjaan di Kementerian Keuangan). Ini fakta, Teman. Jadi, kalau kamu
ingin berkuliah di STAN karena jaminan pekerjaan, silahkan dipikirkan ulang.
Memang, pekerjaan tetap dijanjikan adanya, tapi kita harus menunggu tanpa
'boleh' meminta. Menanyakan nasib pun tidak menambah pencerahan. Prosedur akan
tetap berjalan seperti biasa (tahulah kamu kalau birokrasi selalu berjalan
lambat) meski kamu merengek-rengek bertanya kepastian waktu kapan ditempatkan
kerja.
Belum lagi dengan
keharusan bekerja dulu sekaligus larangan untuk melanjutkan pendidikan (bukan
tidak boleh sih, tapi tidak diakui ijazahnya). Jadi, kalau kamu memilih
berkuliah di STAN, siap-siaplah karir pendidikanmu akan tersendat-sendat. Dan
yang terbaru adalah larangan menikah sesama pegawai Kementerian Keuangan. Kamu
mungkin ingin protes dengan kebijakan yang ada, nantinya jika kamu telah masuk
STAN, tapi ketahuilah bahwa kamu tidak mempunyai bargaining
position yang kuat. Meminjam istilah seorang penulis opini di Kompas
(saya lupa nama penulisnya) 'seperti mendorong tronton mogok', jika kamu
berusaha menghentak pemerintah.
Saya menuliskan ini
antara kejujuran dan pengungkapan aib. Pasti akan ada pihak yang kontra dengan
pendapat ini. Mungkin mereka akan mengatakan: "Kalau itu sebuah keburukan
(aib), mengapa tak kau simpan saja?".
Kembali pada tujuan
awal tulisan ini dibuat. Saya ingin berbagi pengalaman yang mungkin akan
dipertimbangkan oleh mereka yang sangat ingin berkuliah di STAN.
Terakhir, tulisan
ini tidak mungkin berimbang. Namanya juga opini pribadi. Dan, secara nyata saya
mempunyai hubungan istimewa dengan STAN (karena saya alumninya). Saya memohon
maaf jika ada kalimat yang tidak berkenan di hati para pembaca.
Salam,
@elmabruri
wuih, keren mas.
ReplyDeletekenalin, saya sam, yang dulu calon mahasiswa STAN, *ppfftt.
orientasi keluarga saya adalah jaminan kerja setelah lulus dari STAN.
saya turut prihatin kalo membaca cerita mas, but anyway, begitulah realita, saya sepakat, karena sedikit banyak mendapat perlakuan yang sama di univ (PTN) saya kuliah. padahal PTN saya 5 terbaik nasional, dan saya masuk di jurusan terfavorite nomer 1.
tapi arahan menjelang lulus adalah "mencari kerja" bukan "membuat pekerjaan"
saya baca buku Rich Dad Poor Dad karangan Robert Kiyosaki, bahwa mindset orang tua kita atau pendidikan pada umumnya adalah mencetak karyawan baru. padahal itu konsep lama.
saya mendoakan semoga mas mendapat rejeki yang baik, aamiin. karena saya juga sepakat, banyak mahasiswa kita akhirnya lebih mementingkan ipeka atau 'mark oriented', sayang sekali.
padahal, dimana pun kita berada, seharusnya diniatkan untuk belajar.
semangat mas! maybe mas ditakdirkan sebagai penulis atau wirausahawan, hehe. berhubung tulisannya bagus en enak dibaca.
kunjungan balik ke blog saya, www.skripsit.com
regards,
alinea ke-4 kok jleb banget ya.
ReplyDelete