Bekerja di ibu kota,
terutama Jakarta Pusat yang dari jendela kantornya terlihat Monas, dan pergi ke
Istiqlal cukup dengan jalan kaki, pastilah jarang ada hunian murah di dekat
tempat mengais rizki itu. Mencari kos pun tak bisa yang dapat dijangkau dengan
hanya berjalan kaki -- kecuali sangat beruntung dan mungkin berkenan menurunkan
standar kenyamanan. Maka, kita harus bersabar menghadapi mahluk menjengkelkan
asli ibu kota bernama kemacetan, ketika pulang-pergi ke dan dari kantor.
Apalagi jika
memikirkan tempat tinggal menetap di masa depan: rumah. Opsi yang ada, dengan
standar harga pegawai muda Kemenkeu, adalah di beberapa tempat ini: Bintaro,
Pondok Aren, Depok, Citayam, bahkan Bojong Gede. Semua ini berada di luar
radius 15 km dari tempat kerja. Waktu tempuh 15 km di Jabodetabek tidak sama
dengan jarak yang sama di Kebumen atau daerah lainnya. Mungkin tidak cukup
ditempuh dalam waktu satu jam, apalagi jika menggunakan moda transportasi umum.
Saya ingin
menganggap semua tempat adalah rumah, sekaligus sudut pandang sebaliknya, bahwa
tak ada rumah tempat pulang selain surga. Maka, menjalanilah hidup ini bagai
pengembara yang tak punya rumah pulang dan menginap di sembarang papan.
Sehingga, kantor tempat kita bekerja tetaplah senyaman rumah dan tidak perlu
cepat-cepat meninggalkannya ketika jam kerja telah usai.
Seolah-olah kantor
adalah lampu lalu lintas yang menyala merah di suatu perempatan, padahal tak
ada kendaraan lain yang melintas. Untuk apa buru-buru? "Mereka yang
tergesa-gesa telah lama mati." (dari film "La Grand Voyage").
Bagi pemuda lajang
mungkin ini mudah, tapi tidak demikian bagi mereka yang menikah muda. Apalagi
bagi perempuan. Dan dalam angan saya, masa itu tidak akan lama lagi (tetap
kejar 25 sih).
Menikmati hidup ini
tidaklah dengan pergi dari zona nyaman di pagi hari, lalu pulang ke peraduan
ketika malam hari. Seperti ketika pagi hari malas bangun untuk bersiap pergi ke
kantor, lalu bersegera pulang ketika kantor selesai jamnya. Padahal jalan macet
parahnya. Buat apa tergesa-gesa? Hidup ini tak perlu segera sampai pada tempat
tujuan, sebab perjalanan ini sendiri adalah esensi kehidupan.
Ketika telah
berkeluarga dan usia tak lagi muda, quality
time bersama anak istri begitu bermakna. Tak mungkin pulang demikian
larut sepanjang minggu, sementara keluarga telah gelisah menunggu. Nah, saya
belum memiliki rencana pasti soal ini: tentang di mana akan menetap, tentang
apakah istri juga akan sama sibuk bekerjanya, atau apakah akan berangkat-pulang
sama-sama istri di kompleks Lapangan Banteng. #eh entahlah.
Karena sebagaimana
hidup, perjalanan ini bisa terhenti tanpa kita restui, dan sebelum sempat
mencapai puncak. Nikmati setiap kesibukan; manfaatkan setiap jeda.
Karena kita tidak
pernah tahu kapan perjalanan ini terhenti, apakah telah berada di pangkuan
istri dan orang-orang terkasih, ataukah seorang diri di belantara rimba.
Maka memang, hidup
ini bersumber dari Yang Satu, dan bermuara pada Yang Satu. Di antara keduanya
hanyalah perjalanan, yang harus kita isi dengan semangat perjuangan. Tak ada
tempat pulang, selain di bawah naungan-Nya. Dan rumah itu ada di dalam diri
kita sendiri, kita bawa ke mana jiwa melangkah. Sebab, kepercayaan kepada Yang
Awal dan Yang Akhir ada di hati ini.
Salam dari Musafir
Muda, yang masih mencari teman jalan untuk tujuan yang sama,
@elmabruri
No comments:
Post a Comment