Facebook telah
menjadi media mainstream sebagai ajang "curhat". Berbicara tentang dirinya
sendiri: pikirannya, perasaannya, laporan temporer tentang keberadaannya, dan
sikapnya.
Ketika menulis
status, itu semacam berbicara sendiri sambil lalu di jalan yang ramai lalu
lalang orang dan berharap mereka mendengar perkataan kita. Self-centered dan
egosentrik. Atau ketika kita me-mention teman-teman FB kita, itu seolah-olah
sedang berjalan-bergerombol dan mengobrol di antara sesamanya namun ingin orang
lain memahami apa yang kita diskusikan. Seolah-olah pembicaraan kita adalah
topik penting yang menguasai hajat hidup orang banyak.
Semacam ingat suatu
iklan provider seluler? Ngomongin bisnis besar bareng teman-teman sambil
suaranya digedein biar kedengeran sampai meja sebelah? It's just like that. Dan
betapa tertipunya kita oleh keseolah-olahan.
Facebook, atau
jejaring sosial lainnya, menghasilkan pola berkomunikasi tersendiri di mana
seseorang seperti berpidato di studio rekaman; tidak terlihat audiennya, tapi
pasti akan tersampaikan pidatonya itu baik secara real time maupun off-line. Dalam kondisi seperti ini, tingkat kepercayaan diri --atau juga ketidaktahuan diri-- lebih tinggi daripada presentasi di depan kelas.
Tapi ada pula akun-akun jejaring sosial yang dikomandani orang-orang bijak yang menyebar virus positif di lini masa. Dan ini memudahkan mereka untuk berakting sebaik mungkin, termasuk membuat citra diri yang bagus.
Tapi ada pula akun-akun jejaring sosial yang dikomandani orang-orang bijak yang menyebar virus positif di lini masa. Dan ini memudahkan mereka untuk berakting sebaik mungkin, termasuk membuat citra diri yang bagus.
Dan tidak jarang pula serangkaian kode-kode perasaan disebarluaskan ke seluruh penghuni dunia maya, padahal hanya seorang yang dituju. Aplikasi dari majas totem pro parte. Seolah seluruh dunia harus peduli dengan perasaan seorang pemuja rahasia. Atau sedang melakukan survey "pasar"?
Dan lalu saya hanya
ingin tersenyum saja. Tapi sayangnya tidak ada cukup emoticon yang bisa
mewakili ekspresi senyum manusia di dunia nyata. Tidak sekedar titik dua-kurung
buka. Sehebat apapun teknologi digital memvisualisasikan senyum ke dalam
emoticon lucu seperti yang disodorkan KakaoTalk, WeChat, dll, semua itu tak
akan mewakili efek nyata dari dua bibir yang ditarik menyamping dan wajah yang
cerah sumringah. Mari tersenyumlah bersama saya. Haha.
Bagi orang-orang
tertentu yang tidak menyukai keramaian seperti saya -sometimes-, ini terasa
lucu ketika saya sedang berdiri di pinggir jalan mencari ketenangan sambil
mengamati keadaan. Alangkah manusia ingin diperhatikan, diamati, dan diakui.
Tentunya ini manusiawi dan alamiah, meski sudah seharusnya dibatasi
keberadaannya. Bagaimanapun manusia ingin diakui keakuannya, ianya hanyalah
sesuatu yang berawal dari ketiadaan dan akan berakhir dengan ketiadaan pula.
Terus apa bedanya
menulis -curhat- di blog? Lalu menautkan link-nya di jejaring sosial juga?
Tentu saya mempunyai
alibi. Menulis di Taman Inspirasi adalah seperti merenungi kejadian-kejadian
penciptaan lalu menuliskannya. Tulisan itu saya tanam di kebun ini dan saya
biarkan ia tumbuh, entah ada yang mengambil manfaatnya atau tidak. Dan mungkin
iya, tidak jarang saya mengatakan lewat status saya di mana taman saya ini.
Tapi setidaknya para pembaca tidak akan datang seandainya tidak suka dengan
penulisnya. Berbeda dengan status yang secara alamiah menarik untuk dibaca
meski hanya sampah saja.
Kok sepertinya sinis banget?
Hmmm. Bisa jadi.. Bisa jadi.. Bisa jadi. Ya setidaknya tidak berlebihan. Seolah-olah semua mata tertuju padanya. Seolah-olah hal-hal pribadi perlu diketahui semua orang. Ini sih lebih kepada nasihat untuk diri sendiri agar lebih banyak diam, tidak usah banyak tingkah. Ayolah tersenyum saja. Banyak maknanya, tanpa takut kelebihan bicara.
Tapi kadang, saya
menggunakan twitter yang masih sedikit followers-nya untuk menulis beberapa
ocehan yang agak galau. Haha.
Di sini twitter saya
@elmabruri
No comments:
Post a Comment