Aku adalah kaum proletar yang Allah izinkan mengenyam pendidikan tinggi.
Pulang dari
perantauan mencari ilmu, menetap hampir 10 bulan berturut-turut, saya seperti
orang asing di kampung sendiri. Bukan karena secara fisik saya tak berbaur
dengan masyarakat kampung, tapi lebih karena paradigma yang berbeda. Justru
karena bersosialisasi dengan merekalah saya menghadapi permasalahan ini.
Barangkali saya harus memaklumi, masyarakat umum tidaklah berkesempatan
berpendidikan sebaik saya. Dan harus saya akui pula bahwa jalur pendidikan yang
saya tempuh adalah pendidikan formal yang berbau kapitalis dengan sedikit bumbu
religi modern yang cenderung instan.
Saya bersekolah di
tempat formal yang cenderung kapitalis, dalam artian sekolah negeri dan bukan
sekolah keagamaan: dari SD negeri kampung, SMP negeri hampir favorit, SMA
negeri elit borjuis, dan sekolah tinggi liberalis. Pemahaman agama yang saya
miliki pun tidak melalui proses pelembagaan ala pesantren: sedikit demi
sedikit, istiqomah, dan patuh pada nasihat guru. Kombinasi keduanya bisa jadi
merupakan salah satu faktor pembentuk watak saya yang berpotensi menjadi
pemberontak.
Ataukah ini sepuluh
bulan pertama dari hidup saya melepas diri dari kehidupan literer-tekstual
bangku sekolah? Inilah kehidupan nyata yang daripadanya berasal asumsi-asumsi
pembentuk teori di buku-buku pelajaran. Sekolah mengajari kita mengingat, bukan
menemukan solusi.
Di kampung ini,
sholat berjamaah di masjid pada siang hari adalah tabu. Paling hanya ada 5 atau
7 orang berjamaah termasuk imam. Tak ada pemuda yang pergi mengaji. Orang-orang
berangkat kenduri padahal masjid sedang adzan asar. Di antara kebutuhan hidup yang
terus menghimpit dan perekonomian yang jomplang, masih sempat membeli petasan
untuk lebaran. Kebodohan menyelimuti, tapi tak mau mendengar nasihat orang tua
yang lebih berpengalaman. Agama tidak membudaya, tapi budaya dianggap agama.
Berziarah ke kuburan lebih dianggap penting daripada berdoa di masjid di antara
adzan dan iqomah.
Dan, di antara semua
itu saya terjebak dalam pusaran formalisme khas orang Jawa, termasuk kontrol
sosial bernama sawang-sinawang.
Ataukah aku yang
asing bagi diriku sendiri?
Sungguh pun saya
punya banyak waktu untuk menanam, banyak pula bunga yang minta disemai, Taman
Inspirasai sepi dari tanaman baru akhir-akhir ini. Yah, tidak semua pemikiran
dapat dituliskan dan tidak semua tulisan dibacakan, sebagaimana beberapa
sejarah tidak diungkapkan.
Memang tidak semua
kepenatan seharusnya dituliskan, sebagaimana doa yang harus tetap dimohonkan
meski Allah mengetahui segala hajat hamba-Nya.
Salam hangat,
@elmabruri
[ditulis 27 Ramadhan lalu]
No comments:
Post a Comment